CERPEN
Cerita pendek atau sering disingkat sebagai cerpen adalah suatu bentu prosa naratif fiktif.
Cerita pendek cenderung padat dan langsung pada tujuannya dibandingkan
karya-karya fiksi yang lebih panjang. Karena singkatnya, cerita-cerita
pendek yang sukses mengandalkan teknik-teknik sastra seperti tokoh, plot, tema, bahasa dan insight secara lebih luas dibandingkan fiksi yang panjang.
Cerpen
bisa didefinisikan sebagai sebuah cerita yang formatnya sangat singkat,
dan berisi penggalan cerita tertentu. Cerpen adalah karya fiksi.
Maksudnya, cerita yang terkandung di dalamnya bukan kisah nyata.
Namun walaupun sama-sama pendek, panjang cerpen itu sendiri
bervariasi, panjang cerpen bervariasi menjadi 3 macam. Pertama, cerpen yang
sangat pendek (short short story)
atau biasa disebut cermin atau cerpen mini yang berkisar antara 500-an kata.
Kedua, cerpen dengan panjang sedang (middle
short story) yang selama ini dikenal sebagai cerpen. Sementara yang ketiga,
cerita panjang (long short story) dan
biasa digolongkan sebagai novelet atau novel kecil yang biasanya terdiri dari
puluhan ribu kata.
Sehingga dapat disimpulkan
bahwa cerita pendek adalah cerita fiksi yang bentuknya pendek dan
ruang lingkup permasalahannya menyuguhkan sebagian kecil saja dari kehidupan
tokoh yang menarik perhatian pengarang, menggambarkan kehidupan pelaku atau tokoh secara
singkat, dan mengandung kesan yang
tidak mudah dilupakan. Unsur intrinsik adalah unsur yang membangun sebuah karya sastra dari dalam, seperti: Tema, amanat , alur, karakterisasi, setting, dan point of view.
Tujuan pengarang dalam
menciptakan karya sastra, bukan semata-mata ingin menyampaikan ‘jalan cerita’,
melainkan ada konsep pemikiran tertentu yang hendak dikemukakannya. Pokok
pikiran, ide, atau gagasan yang mendasari karangan itulah yang disebut
tema.
Dalam karya sastra, tema
senantiasa berkaitan dengan nilai-nilai kehidupan dan pola tingkah laku. Tema
yang banyak dijumpai pada karya sastra yang bersifat didaktis adalah
pertentangan antara nilai baik - buruk, misalnya dalam bentuk kebohongan
melawan kejujuran, kezaliman melawan keadilan, korupsi melawan kerja keras dan
sebagainya.
1.1 Perwujudan Tema
Tema cerita kadang-kadang
dinyatakan secara eksplisit oleh pengarangnya, baik melalui dialog, pemaparan,
maupun judul karya, sehingga pembaca mudah memahami. Dari membaca judulnya
saja, misalnya Salah Asuhan, Sengsara Membawa Nikmat, Dua Dunia dan
lain-lain, dengan mudah pembaca dapat menebak temanya. Meskipun demikian, harus disadari bahwa tidak semua
judul menunjukkan tema cerita. Ada pula judul-judul yang bersifat simbolik,
misalnya Layar Terkembang, Belenggu dan lain-lain. Dengan demikian,
untuk menggali tema cerita tidak selalu mudah karena banyak pula yang bersifat
implisit (tersirat), sehingga seseorang perlu membaca lebih dahulu seluruh
cerita dengan tekun dan cermat.
Penyampaian
tema kadang-kadang didukung oleh pelukisan latar, alur, dan penokohan. Tema
bahkan dapat menjadi faktor yang mengikat peristiwa-peristiwa dalam alur. Pada
umumnya tema demikian dominan, sehingga menjadi kekuatan yang mempersatukan
berbagai unsur yang bersama-sama membangun karya sastra dan menjadi motif
tindakan tokoh. Sebagai contoh dalam cerpen Nama karya Putu Wijaya, tema
kepemimpinan yang dipaparkan merasuki hampir pada setiap unsur karya tersebut.
Karakter tokoh-tokohnya terbangun karena adanya persepsi yang berbeda-beda
tentang kepemimpinan, konflik cerita dan alurnya berpusat pada masalah
tersebut, bahkan dialog antartokoh pun mengungkapkan tentang kepemimpinan yang
merupakan tema cerpen ini.
1.2 Tema
‘Ringan’ – Tema ‘Berat’
Banyak
orang berpendapat bahwa mutu karya sastra dapat diukur dari ‘berat’
‘ringan’-nya tema yang diemban. Ini kurang tepat, mengingat banyak cerita
dengan tema yang sama, tetapi ternyata memiliki bobot kesastraan yang berbeda.
Misalnya saja masalah cinta, keluarga, maupun perjuangan hidup,
oleh pengarang tertentu dapat digarap dan menghasilkan karya sastra yang
bermutu, sedangkan di tangan pengarang lain hasilnya belum tentu demikian.
Dapat
disimpulkan bahwa baik buruknya suatu karya tidak ditentukan oleh tema (karena
gagasan yang sama dapat menjadi tema berpuluh-puluh cerita yang baik, yang
sedang, maupun yang buruk), namun ditentukan oleh mendalam tidaknya tema
tersebut digarap. Karya yang bermutu tidak hanya mengungkapkan jalinan
peristiwa, melainkan mengetengahkan juga falsafah-falsafah kemanusiaan yang
mendorong pembaca untuk berkontemplasi (Oemarjati, 1962 : 54 – 55). Dengan
demikian, sambil menikmati karya sastra pembaca sekaligus mendapat ‘makanan’
untuk perkembangan budinya, sehingga ia menjadi lebih arif dalam menyikapi
kehidupan, baik terhadap sesama maupun dalam hubungannya dengan Tuhan.
Konflik
kejiwaan yang menjadi tema novel Pulang karya Toha Mohtar misalnya, digarap dengan
sangat mendalam. Tema tersebut terwujud melalui karakter Tamin, bekas Heiho
yang sekembalinya dari Birma malah bergabung dengan tentara Sekutu karena
ketidaktahuannya. Ketika pulang, ia disambut dengan kegembiraan yang
mengharukan, namun perasaan bersalah sebagai pengkhianat
- walaupun tak seorang
pun warga desa mengetahui hal itu - mendorongnya untuk ‘membuang’ diri
meninggalkan desanya dengan membawa konflik yang mencabik-cabik batin.
1.3 Pengarang dan Pilihan Tema
Pada dasarnya pilihan tema tidak terbatas. Ada pengarang
yang menggarap tema berbeda-beda setiap kali menciptakan suatu karya, ada pula
yang selalu hadir dengan tema-tema tertentu.
Kecuali pilihan pribadi, beberapa faktor mempengaruhi
pilihan tema, misalnya selera pembaca pada suatu masa, peristiwa politik maupun
sosial yang terjadi, konvensi zaman, bahkan keinginan penerbit atau penguasa
ikut menentukan. Itulah sebabnya pada tahun dua puluhan, ketika masyarakat
sedang gencar berjuang melawan adat kawin paksa, maka karya sastra yang muncul
kebanyakan tentang tema tersebut. Pada masa yang berbeda, saat politik
bergolak, atau krisis ekonomi terjadi, atau ketika pemerintah giat melancarkan
kampanye pelestarian lingkungan, maka pilihan tema biasanya sejalan dengan
peristiwa-peristiwa tersebut.
Walaupun banyak pengarang yang mengangkat tema sesuai
peristiwa atau kebutuhan zaman seperti telah dijelaskan di atas, namun dari
masa ke masa tema-tema umum tentang moral, keadilan, cinta, dan kemanusiaan
juga selalu eksis dan digemari.
1.4
Menafsirkan
Tema
Menemukan tema karya sastra tidak selalu mudah. Hal ini
disebabkan seringkali terjadi kesenjangan antara makna muatan (tema yang nampak
dalam suatu karya) dengan makna niatan (maksud pengarang). Penyebabnya mungkin
pengarang kurang pandai menjabarkan tema yang dikehendakinya, sehingga yang
tertangkap oleh pembaca berbeda dengan maksud pengarang. Bisa juga karena
hakekat karya sastra itu sendiri yang multi-interpretable, sehingga tiap-tiap
pembaca memiliki pendapat yang berbeda. Perbedaan demikian wajar terjadi, yang
penting tafsiran tersebut dapat dipertanggungjawabkan dengan bukti-bukti kuat
yang diambil dari unsur-unsur karya yang bersangkutan. Jadi, penafsiran tema
hanya boleh didasarkan pada aspek-aspek yang dikemukakan dalam cerita dan tidak
dipaksakan dari luar.
Meskipun
di atas telah diuraikan bahwa perbedaan penafsiran dianggap wajar, harus
dihindari penyimpangan yang terlalu jauh. Dalam menafsirkan tema, sedapat
mungkin ‘tertangkap’ tema sentral/mayornya, sedangkan tema sampingan/ minor
boleh dikemukakan sebagai aspek yang melengkapi.
Misalnya
tema sentral Pada Sebuah Kapal karya N.H. Dini adalah masalah emansipasi
wanita yang dimanifestasikan melalui tokoh Sri. Untuk menyampaikan tema
tersebut pengarang mengungkapkannya melalui persoalan-persoalan dalam
pernikahan, percintaan antartokoh, kegagalan berumah tangga dan sebagainya.
Hal-hal itu adalah tema sampingan/minor yang berfungsi mengembangkan alur
menuju tema sentralnya tentang emansipasi wanita.
Contoh
lain Tenggelamnya Kapal van der Wijck karya Hamka yang tema sentralnya
tentang harkat dan martabat manusia. Tema tersebut dikemukakan oleh
pengarangnya melalui permasalahan adat dan cinta. Jadi, walaupun dalam novel
ini terdapat pemaparan tentang adat dan cinta, keduanya hanya merupakan tema
sampingan yang berfungsi sebagai sarana untuk mencapai tema sentral yang
sesungguhnya.
1.5 Tema dan
Topik
Kecuali
tema, kita juga mengenal istilah topik yang bersifat lebih khusus/konkret
karena pada dasarnya merupakan penjabaran lebih lanjut dari tema. Contohnya
dari tema emansipasi wanita, dapat diturunkan topik-topik seperti :
-
Kedudukan
dan kesempatan bagi wanita untuk mengembangkan eksistensi belum sepenuhnya
terbuka lebar.
-
Perlakuan
yang tidak layak dari seorang suami kepada istrinya merupakan pelecehan
terhadap martabat wanita.
Contoh
lain tema martabat manusia yang diemban oleh novel Pagar Kawat
Berduri karya Trisnoyuwono, dijabarkan dalam topik ‘keadaan sulit yang
dialami seseorang, dapat menyebabkan ia rela kehilangan martabat’.
Tema peperangan
dalam cerpen Telinga karya Seno Aji Gumira, dijabarkan dalam topik ‘peperangan
mengakibatkan seseorang kehilangan rasa kemanusiaannya’.
Tema
karya sastra bisa meliputi aspek kejiwaan manusia, aspek sosial, politik,
adat-istiadat dan lain-lain, yang masing-masing dapat lebih dikonkretkan
menjadi topik yang bersifat lebih khusus.
2.
Amanat
Amanat sering pula disebut pesan moral atau himbauan-himbauan yang
terdapat dalam cerita. Pada masa lampau, pesan moral seringkali disampaikan oleh pengarang secara eksplisit,
verbal dan langsung; tetapi di zaman modern ini agaknya cara seperti itu sudah
jarang terjadi. Penulis-penulis sekarang lebih sering menyiratkan pesan secara implisit
melalui perilaku tokoh, terutama menjelang cerita berakhir. Teknik demikian
kecuali menghilangkan kesan ‘menggurui’, juga memberi keleluasaan pada pembaca
untuk mencari dan menemukan sendiri pesan moral suatu cerita.
Yang harus diingat, amanat
mempunyai kaitan yang sangat erat dengan topik, bahkan seperti mata uang yang
memiliki dua sisi. Hal yang membedakan hanyalah pada cara merumuskan. Perumusan
topik berupa kalimat pernyataan, sedangkan perumusan amanat berupa kalimat perintah, saran-saran, dan himbauan-himbauan,
seperti :
v Sebagai warga negara suatu bangsa, hendaknya kita
ikut serta menciptakan
perdamaian. Sedapat mungkin hindari peperangan karena peperangan
dapat
mengikis
rasa peri kemanusiaan.
v Jangan menjadi manusia yang sombong. Ingatlah,
kesombongan merupakan
awal
kehancuran.
v Kita harus memiliki sifat rela berkorban, khususnya
bagi sahabat.
3.
Plot/Alur
Marjorie
Boulton (1984 : 75) mengibaratkan alur sebagai rangka di dalam tubuh manusia
yang berfungsi menopang tubuh agar dapat berdiri. Di dalam cerita rekaan,
berbagai peristiwa disajikan dengan urutan tertentu. Rangkaian peristiwa itu
membangun tulang punggung cerita, yaitu alur.
Ada
pula yang mengumpamakan alur sebagai sangkutan, tempat menyangkutnya
bagian-bagian cerita, sehingga terbentuklah suatu bangun yang utuh. Dalam
fungsinya yang demikian dapat dibedakan peristiwa-peristiwa utama yang
membentuk alur utama, dan peristiwa-peristiwa pelengkap yang membentuk alur
bawahan atau pengisi jarak antara dua peristiwa utama.
Peristiwa yang dialami tokoh disusun
sedemikian rupa menjadi sebuah cerita, tetapi tidak berarti semua kejadian
dalam hidup tokoh ditampilkan secara lengkap. Peristiwa-peristiwa yang dijalin
tersebut sudah dipilih dengan memperhatikan kepentingannya dalam membangun
alur. Peristiwa yang tidak bermakna khas (signifikan) ditinggalkan, sehingga
sesungguhnya pengaluran selalu memperhatikan hubungan kausalitas/sebab-akibat
Forster (1955 : 86) mengatakan, “We have defined as a narrative of events
arranged in their time-sequence. A plot is also a narrative of events, the
emphasis falling on causality. The time-sequence is preserved, but the sense of
causality overshadows it.”
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan definisi
alur adalah :
Pengaturan
urutan peristiwa pembentuk cerita yang menunjukkan adanya
hubungan
kausalitas.
|
Memang, hubungan kausalitas ini tidak
selalu segera tampak dalam sebuah novel yang tersusun rapi karena kadang-kadang
tersembunyi di balik peristiwa yang meloncat-loncat, atau di dalam ucapan
maupun perilaku tokoh-tokohnya. Walaupun begitu pembaca harus dapat menangkap
hubungan kausalitas tersebut. Untuk itu pengarang yang baik hanya menampilkan
lakuan dan cakapan yang bermakna bagi hubungan keseluruhan alur, sebab jika
banyak digresi (lanturan) dapat mengalihkan perhatian pembaca dari peristiwa
utama ke peristiwa pelengkap.
3.1 Unsur-Unsur Alur :
v Awal
:
-
Paparan (exposition)
à
Pengarang menyampaikan informasi sekedarnya kepada pembaca, misalnya
memperkenalkan tokoh cerita, keadaannya, tempat tinggalnya, pekerjaannya,
maupun kebiasaan-kebiasaannya.
Fungsi paparan untuk memberikan informasi
kepada pembaca agar dapat mengikuti kisahan selanjutnya dengan mudah. Harus
diingat bahwa situasi yang digambarkan pada bagian awal alur, hendaknya membuka
kemungkinan bagi pengembangan cerita dan memancing rasa ingin tahu pembaca akan
kelanjutan cerita.
-
Rangsangan (inciting
moment) à Peristiwa yang mengawali
timbulnya gawatan, misalnya dengan kemunculan seorang tokoh baru yang berlaku
sebagai katalisator, atau suatu kejadian yang merusak keadaan yang pada mulanya
selaras (Sudjiman, 1986 : 39).
- Gawatan (rising action) à Munculnya masalah antara tokoh utama dengan sesuatu (bisa masalah
dengan tokoh lain, diri sendiri, nilai-nilai, lingkungan, dan lain-lain)
sebagai kelanjutan dari bagian rangsangan.
v Tengah :
-
Tikaian (conflict) à Perkembangan masalah menjadi pertikaian/perselisihan antara dua
kekuatan yang bertentangan.
- Rumitan
(complication) à Perselisihan yang
semakin meruncing.
- Klimaks à Perselisihan/rumitan yang mencapai puncaknya.
v Akhir :
- Leraian (falling action) à Perkembangan peristiwa ke arah selesaian. Di sini
nampak titik terang
pemecahan masalah, yaitu perselisihan yang tadinya
sudah mencapai titik gawat,
berangsur-angsur surut dan nampak ada jalan
keluarnya. Dalam hal ini ada kalanya diturunkan
deus ex machina, yaitu orang atau barang yang muncul tiba-tiba dan
memberikan pemecahan (Sudjiman 1986 : 19)
- Selesaian (denouement) à Bagian akhir atau penutup cerita. Selesaian bisa
melegakan (happy ending), bisa
menyedihkan (unhappy end/sad ending),
bisa pula menggantung tanpa pemecahan.
Unsur-unsur alur tersebut
dikemas sedemikian rupa oleh pengarang, sehingga cerita yang dikemukakan
mempengaruhi perasaan pembaca. Untuk itu pengarang selalu memasukkan aspek tegangan/suspence
(ketidakpastian yang kian menjadi-jadi), regangan/toppings (proses
penambahan ketegangan emosional), dan susutan/
droppings (proses pengurangan
ketegangan emosional). Sarana yang digunakan untuk menciptakan tegangan
antara lain :
- Dengan teknik sorot balik/alih
balik, yaitu jika urutan kronologis suatu cerita disela dengan
peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelumnya (Sudjiman, 1986 : 3). Sorot balik
ini bisa berupa lamunan si tokoh yang mengingat masa lalu, bisa pula dalam
bentuk mimpi, maupun dialog antar tokoh.
- Dengan teknik padahan/foreshadowing,
yaitu pengarang memasukkan butir-butir cerita yang memberi bayangan akan
terjadinya sesuatu, sehingga seolah-olah mempersiapkan peristiwa yang akan
datang.
3.2 Cara Penyajian Alur :
v Linear
à
Peristiwa-peristiwa dalam cerita yang disampaikan secara berurutan/ kronologis.
- Ab
ovo/alur maju/alur lurus : Cerita diawali dengan peristiwa pertama
dalam urutan waktu terjadinya, yaitu pengarang memaparkan keberadaan tokoh
utamanya lebih dahulu sebelum tokoh tersebut berlakuan (misalnya pada ‘Hikayat
Hang Tuah’).
- In
medias res/alur mundur/alur flash back :
Sejak awal cerita, para tokoh sudah langsung berlakuan. Keberadaan si tokoh dipaparkan secara bertahap, baik
dalam peristiwa pertama maupun peristiwa lanjutan (misalnya pada ‘Belenggu’).
Cerita rekaan yang diawali dengan in medias res biasanya
menggunakan sejumlah sorot balik.
v Gabungan à Alur maju dan mundur yang digunakan secara
bersama-sama dalam sebuah cerita.
4. Karakterisasi/Perwatakan
Karakterisasi/perwatakan
adalah cara pengarang menggambarkan watak/sifat tokoh cerita. Ada dua macam
karakterisasi, yaitu secara langsung dan tak langsung. Disebut karakterisasi
langsung apabila pengarang secara langsung
menyebutkan watak tokoh-tokoh cerita, misalnya : Rini adalah seorang gadis yang amat sombong.
Dari
contoh di atas nampak bahwa penulis menyebutkan watak tokoh Rini secara
langsung. Ini berbeda dengan karakterisasi tak langsung yang menggambarkan
watak tokoh melalui pendeskripsian tingkah laku dan pemikiran-pemikiran si
tokoh. Contoh : Sejak pindah di sekolah
itu Rini tak pernah bergaul dengan kawan-kawannya. Bagi Rini, siswa-siswi di
sekolah barunya kurang ‘level’.
Pada
masa lampau, pengarang biasanya menggambarkan watak tokoh cerita secara statis,
tidak berubah dari awal hingga akhir cerita. Tokoh yang jahat (Datuk Maringgih
dalam “Siti Nurbaya” misalnya), tak pernah bertobat dan tak pernah menjadi
baik. Sebaliknya tokoh yang baik digambarkan sangat sempurna dari awal hingga
cerita selesai. Karakterisasi seperti ini disebut perwatakan tetap (the flat
character).
Dewasa
ini nampaknya pengarang lebih objektif. Watak tokoh cerita digambarkan sangat
manusiawi dan bisa berubah. Tokoh yang baik suatu ketika dapat berubah menjadi
jahat, demikian pula sebaliknya. Karakterisasi demikian disebut perwatakan bulat (the around character).
Sehubungan
dengan pokok bahasan ini ada baiknya dibicarakan pula pengertian tokoh protagonis, antagonis, confidant, dan
figuran.
Protagonis :
Tokoh utama cerita yang berperan sebagai penggerak cerita. Tokoh inilah
yang pertama-tama menghadapi masalah dan terlibat dalam kesuliatan. Biasanya pembaca
berempati pada tokoh ini.
Antagonis : Tokoh
utama yang berperan sebagai penghalang tokoh protagonis. Tokoh ini merupakan
lawan protagonis, sehingga karakternya bisa jadi membuat pembaca jengkel.
Confidant : Tokoh
confidant mempunyai peran sebagai tokoh pembantu yang menjadi kepercayaan
protagonis dan atau antagonis. Lewat tokoh ini pembaca dapat mengenal watak dan
niat-niat tokoh utama dengan lebih baik.
Figuran : Tokoh
tambahan yang perannya tidak penting bagi keutuhan tema cerita. Figuran dihadirkan untuk menciptakan
suasana agar cerita lebih hidup. (Tokoh ini lebih sering
muncul dalam drama atau film daripada dalam cerpen, novel, maupun roman).
5.
Setting/Latar
Yang dimaksud latar/setting adalah
waktu, tempat, dan suasana yang terdapat dalam cerita, misalnya :
v zaman penjajahan, masa resesi ekonomi, suatu
malam, tahun 2000, dan lain-lain (setting waktu)
v di rumah, di kebun, di medan perang, di Indonesia, di stasiun,
dan
lain-lain (setting tempat)
v mengharukan,
sedih, mencekam, penuh kegembiraan, mengerikan,
dan sebagainya (setting suasana)
6.
Point of View/Sudut Pandang
Cerita
Point of view menyangkut teknik
penceritaan, yaitu melalui tokoh siapa pengarang mengisahkan ceritanya.
Pengarang dapat bercerita melalui tokoh ‘aku’/’saya’, dapat pula memakai tokoh
‘dia’, ‘mereka’, atau seseorang dengan nama tertentu. Berdasarkan hal tersebut kita mengenal beberapa macam point of
view.
6.1 Point of View Orang Pertama
Pengarang memakai tokoh ‘aku’ sebagai
penutur cerita, sehingga seolah-olah kisah yang dituangkan adalah pengalaman
hidupnya sendiri. Tidak jarang
pembaca salah duga dan menganggap tokoh ‘aku’ dalam cerita sebagai gambararan
pribadi pengarang. Tentu saja ini menyesatkan dan tidak dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Point
of view jenis ini terbagi dua, yaitu orang
pertama mayor dan orang pertama
minor. Sudut pandang orang pertama
mayor adalah cerita dengan tokoh utama ‘aku’ atau ‘saya’; sedangkan sudut
pandang orang pertama minor, tokoh utamanya orang ketiga (‘dia’, ‘ia’ atau nama
orang). Cerita dengan sudut pandang ini menghadirkan tokoh ‘aku’ atau ‘saya’
hanya sebagai penutur kisah yang menceritakan kehidupan tokoh utama.
6.2
Point of View Orang Ketiga
Tokoh utama cerita dengan point of view
ini adalah ‘dia’, ‘ia’, atau seseorang dengan nama tertentu. Di sini pengarang
bisa bertindak sebagai yang mahatahu (omniscient
point of view), bisa pula mendudukkan diri di luar cerita (objective point of view).
Pada cerita dengan sudut pandang omniscient, pengarang bertindak sebagai
pencipta segalanya. Ia bisa mengemukakan perasaan, kesadaran, dan jalan pikiran
pelaku cerita. Pengarang juga bisa mengomentari kelakuan para tokoh cerita,
bahkan bisa bicara langsung dengan pembacanya. Karya
sastra lama umumnya menggunakan teknik point of view ini.
Contoh
:
Sejak peristiwa itu hatinya
sangat sedih, bahkan sudah mendekati rasa putus asa. Jika tidak takut mati, ia
pasti sudah bunuh diri. Sebenarnya ia berharap Amel mau mengerti dan memberinya
support, tapi yang terjadi Amel malah meninggalkannya.
Pada cerita dengan objective point of view, pengarang semata-mata menyuguhkan
“pandangan mata”. Ia hanya menceritakan yang dapat ditangkap oleh indera
penglihatan dan pendengaran saja. Hal-hal yang tidak dapat dilihat dan
didengar, misalnya jalan pikiran tokoh, keinginannya, suara hatinya, ataupun
perasaannya tidak diungkapkan.
Contoh :
Tak henti-hentinya ia menangis. Sesekali ia
mengepalkan tangan, memukul-mukul dada sendiri, dan sesekali berikutnya ia
menjerit histeris sambil menarik-narik rambutnya. Tiba-tiba ia menghampiri
sekaleng obat serangga. Ia mengangkat kaleng itu sambil memejamkan mata, lalu
menempelkannya di bibir. Air mata makin deras mengalir dan dadanya
terguncang-guncang oleh isak tangis. Setelah beberapa saat, tiba-tiba…
diletakkannya kembali kaleng obat serangga itu.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar