PUISI & HAKIKAT PUISI




Johnson (dalam Tarigan, 1984: 5) berpendapat bahwa puisi adalah peluapan spontan dari perasaan penuh daya yang bercikal-bakal dari emosi kemudian berpadu kembali dalam kedamaian. Pendapat tersebut pada intinya menyatakan bahwa puisi merupakan karya yang muncul dari luapan emosi atau perasaan yang disampaikan secara terpadu dan dengan cara yang damai. Luxemburg dalam Priatni (2003: 17) mengatakan bahwa puisi dapat dikatakan sebagai informasi yang dipadatkan, yang mengungkap sebanyak mungkin dengan sedikit kata. Pendapat tersebut menyatakan bahwa puisi merupakan suatu pesan yang ingin di sampaikan oleh penulis kepada para pembacanya dengan kata-kata yang padat, tepat, dan terpilih. Sedangkan Boswell (dalam Hartoko, 1982: 175) berpendapat bahwa puisi itu adalah teks-teks monolog yang isinya pertama-tama bukan merupakan sebuah alur.
Penjelasan tersebut merupakan suatu pernyataan bahwa puisi merupakan karya sastra yang berbentuk tertulis dan dalam menyampaikan hanya menggunakan pembicara satu arah serta berbeda dengan bentuk sastra yang lain. Suprapto (1993: 65) berpendapat bahwa puisi adalah ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, rima, serta penyusunan larik dan bait. Pendapat tersebut pada intinya menyatakan bahwa puisi adalah salah satu bentuk karya sastra yang memiliki ciri tersendiri, baik dari susunan, penulisan, pembacaan dan sebagainya.
Sarumpaet (2002: 16) mengatakan bahwa puisi adalah pengalaman hidup yang ditulis kembali secara padat dan baru dalam permainan kata yang penuh imaji dan perlambangan. Pada dasarnya pendapat tersebut, menyatakan bahwa isi puisi merupakan curahan dari sebuah pengalaman yang dituliskan dengan penuh imajinasi, kata-kata yang padat, dan indah. Watts (dalam Tarigan, 1984: 7) mengatakan bahwa puisi adalah ekspresi yang kongkrit dan bersifat artistik dari pikiran manusia dalam bahasa emosional dan berirama. Selanjutnya Kosasih (2003: 235) menyatakan bahwa puisi merupakan karya sasta yang menggunakan kata-kata yang indah dan kaya makna. Pendapat tersebut pada dasarnya menyatakan bahwa puisi merupakan ekspresi nyata dari emosi dan pikiran manusia yang dituangkan ke dalam bahasa dengan irama dan susunan keindahan kata yang bersifat imajinatif.
Berdasarkan beberapa pendapat yang di sampaikan di atas, dapat di simpulkan pengertian puisi adalah sebuah karya sastra yang berbentuk teks (tertulis) yang terdiri atas larik dan bait yang lahir dari jiwa, pikiran, pengalaman, dan perasaan seseorang yang di padatkan dengan pilihan kata yang mempunyai nilai keindahan bahasa dan makna yang merupakan pesan penyair kepada para pembacanya (amanat).

A.      Unsur-unsur Pembangun Puisi
Unsur-unsur pembangun puisi cukup kompleks dan sangat berpengaruh dalam pengajaran menulis puisi. Kosasih (2003: 235-241) menyatakan bahwa secara garis besar unsure-unsur puisi terbagi kedalam dua macam, yaitu struktur fisik dan struktur bathin.
1.   Unsur fisik
Unsur fisik meliputi hal-hal berikut.
a.    Diksi (pemilihan kata)
Penyair sangat cermat dalam memilih kata-kata yang di tulis sangat di pertimbangkan maknanya, komposisi bunyi dalam rima, kedudukan kata itu dalam konteks atau dalam hubungan dengan kata yang lain, serta kedudukan kata dalam keseluruhan puisi itu. Oleh karena itu disamping memiliki kata yang tepat, penyair juga mempertimbangkan urutan katanya dan kekuatan daya magis dari kata-kata tersebut. Kata-kata diberi makna baru dan yang tidak bermakna diberi makna menurut kehendak penyair.
Karena begitu pentingnya kata-kata dalam puisi, maka bunyi kata juga harus dipertimbangkan secara cermat dalam pemilihannya karena pemilihan kata mempertimbangkan sebagai aspek estetis, maka kata-kata yang sudah di pilih penyair untuk puisinya bersifat absolut dan tidak bisa diganti dengan padan katanya sekalipun maknanya itu tidak berbeda. Hendaknya disadari pula bahwa dalam puisi bersifat konotatif. Makna dari kata-kata itu mungkin lebih dari satu. Kata-kata yang dipilih hendaknya bersifat puitis, yang mempuinyai efek keindahan dan berbeda dengan kata-kata yang biasa kita pakai sehari-hari.
b.   Pengimajian
Pengimajian dapat didefinisikan sebagai kata atau susunan kata yang dapat mengungkapkan pengalaman imajinasi. Dengan daya imajinasi yang diciptakan penyair, maka pada kata-kata puisi itu seolah-olah tercipta sesuatu yang dapat di dengar dilihat, atau pun dirasakan pembacanya.
c.    Kata kongkret
Untuk membangkitkan imaji(daya bayang) pembaca,maka kata-kata harus di perkongkret. Jika penyair mahir mempengkongkret kata-kata, maka pembaca seolah-olah melihat, mendengar atau merasa apa yang dilukiskan oleh penyair jika imaji pembaca merupakan akibat dari pengimajian yang diciptakan penyair, maka kata-kata kongkret merupakan sebab terjadinya pengimajian itu. Dengan kata yang diperkongkret, pembaca dapat membayangkan secara jelas peristiwa atau keadaan yang dilukiskan oleh penyair.
d.   Bahasa figuratif (majas)
Majas (figurative languge) merupakan bahasa yang digunakan penyair untuk mengatakan sesuatu dengan cara pengiasan, yakni secara tidak langsung mengungkapkan makna. Majas digunakan penyair untuk menyampaikan perasaan, pengalaman batin, harapan, suasana hati, atau pun semangat hidupnya. Hal ini dilakukan agar penyair terhindar dari keterbatasan kata-kata denotatif yang bermakna lugas. Majas mengiaskan atau mempersamakan sesuatu dengan suatu hal yang lain agar sesuatu itu dapat digambarkan dengan lebih jelas.
e.    Rima/Ritma
Rima adalah pengulangan bunyi dalam puisi. Rima berfungsi membentuk musikalitas. Dengan adanya rima itulah, efek bunyi yang dikehendaki penyair semakin indah dan makna yang ditimbulkan lebih kuat.
f.    Tata wajah(tipografi)
Tipografi merupakan pembeda yang penting antara puisi dengan prosa dan drama. Larik-larik puisi tidak berbentuk paragraf.

2.   Unsur Batin
Ada empat unsur batin puisi yakni: Tema(sense), perasaan penyair(feeling), nada atau sikap penyair terhadap pembaca (tone), dan amanat (intetion).
a.    Tema dan Amanat
Tema dan amanat merupakan bagian dari struktur batin puisi. Tema adalah pokok persoalan yang akan diungkapkan oleh penyair. Tema merupakan persoalan yang diungkapkannya itu merupakan penggambaran suasana batin.
b.   Perasaan
Puisi merupakan karya sastra yang mewakili ekspresi perasaan penyair. Bentuk ekprsi itu dapat berupa kerinduan, kegelisahan, atau pengagungan kepada kekasih, kepada alam, oleh karena itu bahasa dalam puisi akan terasa sangat ekpresif dan lebih padat.
c.    Nada dan suasana
Dalam menulis puisi, penyair mempunyai sikap tertentu terhadap pembaca: apakah dia bersikap menggurui, menasehati, mengejek, menyindir, atau bersikap lugas hanya menceritakan sesuatu kepada pembaca.
Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur pembangun puisi meliputi judul, diksi, imagi, bahasa figuratif, bunyi atau suara, rima, ritme, tema, dan amanat. Artinya, untuk melakukan kegiatan yang berkaitan dengan puisi haruslah mengetahui unsur-unsur pembangun puisi tersebut.

B.  Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penciptaan Puisi
Menciptakan sebuah karya sastra membutuhkan ide atau ilham yang kemudian menjadi dasar dari suatu penciptaan karya sastra tersebut. Effendi (2002: 5) berpendapat bahwa pada dasarnya isi sastra, khususnya puisi merupakan hasil pengalaman nalarnya (termasuk pengalaman batin penyair). Hal ini berarti bahwa hasil karya sastra puisi merupakan perwujudan dari hasil pengalaman para penciptanya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa ide para penyair itu dapat muncul berdasarkan pengalaman. Endraswara (2003: 149) menjelaskan bahwa ilham dalam menulis puisi dapat diperoleh dari penangkapan setiap fenomena saja. Dikatakan pula bahwa timbulnya ilham tergantung daya kritis dan kreatif peserta didik. Melihat penjelasan tersebut, dapat dikatakan bahwa munculnya ilham (ide) sangat didukung oleh kepekaan seseorang dalam menangkap dan mengungkap fenomena yang ditemui, serta kemampuan berpikir kritis dan kreatif.
Berpedoman pada penjelasan-penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi ide dalam penciptaan puisi,yaitu:
1.      Pengalaman (indra dan nalar);
2.      Kepekaan terhadap suatu fenomena;
3.      Kemampuan berpikir kritis (daya kritis);
4.      Jiwa kreatif.
Contoh Puisi

tHe eNd
KALIMAT & UNSUR POLA KALIMAT
Kalimat merupakan satuan bahasa terkecil dalam wujud lisan atau tulisan yang mengungkapkan suatu pikiran yang utuh . Dalam suatu kalimat terdiri dari beberapa unsur antara lain subyek, predikat, obyek ,pelengkap dan keterangan. Kalimat dikatakan sempurna jika minimal memliki unsur Subyek dan Predikat.

UNSUR KALIMAT

Subjek
Ciri-Ciri :
1. Jawaban atas Pertanyaan Apa atau Siapa kepada Predikat.
2. Biasanya disertai kata itu,ini,dan yang (yang ,ini,dan itu juga sebagai pembatas antara subyek dan predikat)

Predikat
Ciri-ciri :
1. Menimbulkan Pertanyaan apa atau siapa.
2. Kata Adalah atau Ialah
3. Dapat Disertai Kata-kata Aspek atau Modalitas

Objek
Ciri-ciri :
1. Langsung di Belakang Predikat
2. Dapat Menjadi Subjek Kalimat Pasif
3. Didahului kata Bahwa

Pelengkap
Ciri-ciri :
1. Di Belakang Predikat
2. Hasil jawaban dari predikat dengan pertanyaan apa.

Keterangan
Ciri-ciri :
1. Dapat dipindah –pindah posisinya


POLA KALIMAT

Pengajaran fungsi kalimat merupakan pengetahuan standar yang diajarkan dalam kelas-kelas bahasa bahkan mulai di sekolah dasar, sekolah menengah, sampai perguruan tinggi. Berdasarkan pola dasarnya, Badudu (1990: 32) mengungkapkan pola (1) S-P, (2) S-P-O, (3) S-P-Pel, (4) S-P-K, (5) S-P-O-Pel, (6) S-P-O-Pel-K, (7) S-P-O-K, dan (8) S-P-Pel-K. Kedelapan pola dasar itu, dapat diturunkan menjadi varian yang tak terbatas sebagaimana dari 26 huruf latin diturunkan menjadi kata tertulis bahasa Indonesia yang tak terbatas.

Contoh :
1. S-P
  • Daisy belajar
2. S-P-O
  • Iyand menonton drama
3. S-P-Pel
  • Mita tertawa terbahak-bahak
4. S-P-K
  • Kyu pergi ke Indonesia
5. S-P-O-Pel
  • Ohno sedang mencarikan ikan untuk kucingnya Nino
6. S-P-O-Pel-K
  • Setiap pagi Aiba senam bersama Hangeng
7. S-P-O-K
  • Ohno memancing ikan setiap sore
8. S-P-Pel-K
  • Mita tertawa terbahak-bahak ketika melihat Daisy tercebur ke dalam kolam ikan
 Tema & Amanat


 Gambar Kreatifitas Tema
Amanat Untuk Berbagi Kasih Dengan Sesama
Tema adalah gagasan sentral, makna cerita yang mendasari sebuah cerita.  Tema suatu cerita biasanya bersifat tersirat (tersembunyi) dan dapat dipahami setelah membaca keseluruhan isi cerita. 

     Kedudukan pembaca dan pengarang sama pentingnya bagi perkembangan sebuah karya. Tanpa pengarang, mustahil akan terlahir sebuah karya. Sebaliknya, betapapun hebatnya sebuah karya menurut pengarangnya, apabila karya itu tak jatuh ke tangan pembaca, maka karya tersebut tak berfungsi apa-apa. Peran pembaca menjadi penting, karena merekalah yang memberikan makna terhadap sebuah karya.  

    Saat menikmati sebuah karya, pembaca akan mendapatkan hal-hal yang bersifat hiburan  dan pelajaran. Hiburan akan didapatkan bila pembaca merasakan kenikmatan estetik. Sedangkan pelajaran akan didapatkan bila pembaca merasakan adanya ajaran moral, etika, dan berbagai hal yang menyangkut pergaulan antar makhluk di dunia. pelajaran inilah yang biasa disebut sebagai amanat dari sang pengarang.

    Karya-karya yang baik biasanya memadukan kedua unsur tersebut secara sinkron. Oedipus Sang Raja atau Mahabarata misalnya, menampilkan kedua unsur tersebut secara berimbang. Unsur hiburan dan ajarannya disajikan secara kental dan menyatu dengan semua unsur intrinsik lain. Dalam khazanah kesusasteraan Indonesia, banyak karya yang juga menampilkan hal demikian.. Sebagai misal, novel Atheis, jalan tak ada ujung, robohnya surau kami, puisi-puisi Chairil Anwar atau Amir Hamzah.

    Walaupun begitu, tak sedikit pula karya sastra yang lebih menonjolkan salah satu unsur saja. Karya-karya yang mengeksploitasi seks/pornografi, karya yang memuat kisah percintaan remaja secara sederhana dan naif, tergolong dalam jenis karya sastra populer. Dalam karya jenis ini, pembaca hanya memperoleh hiburan tanpa mendapatkan nilai edukasi yang bisa meningkatkan kualitas pemikiran dan kemanusiannya. Apabila karya sastra lebih menonjolkan unsur ajarannya, maka karya-karya tersebut bisa digolongkan dalam karya sastra propaganda. Contohnya adalah karya-karya pada Zaman jepang atau karya seniman Lekra.

   Dalam karya sastra yang baik, pengarang selalu berusaha untuk menampilkan unsur hiburan dan ajaran (amanat)nya secara tersembunyi. Ia seolah-olah hanya memotret dan merekam apa yang terjadi di kehidupan ini, tanpa terkesan ikut campur di dalam cerita dan menyampaikan nasehat/amanatnya. Pesan/amanat pengarang yang tersembunyi itu, memaksa pembaca untuk mencari sendiri di dalam teks sastranya.

Macam-Macam Tema:

  • Tema Intrapersonal
Tema yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan dirinya sendiri dan alam sekitar, untuk memaknai kehadirannya di dunia. Tema-tema seputar kenangan, catatan perjalanan, keindahan alam dan kontemplasi bisa digolongkan dalam jenis Tema intrapersonal.
  • Tema Interpersonal
Tema yang mencakup hubungan seorang manusia dengan manusia lain sebagai individu. Yang bisa digolongkan dalam tema ini : kasih sayang, cinta, persaudaraan, pengorbanan, dll.
  • Tema Sosial-Politik
Tema yang menyangkut hubungan manusia dalam sebuah komunitas, atau hubungan sebuah komunitas dengan komunitas lain. Misalnya : Pengorbanan, kebersamaan, persatuan, kepahlawanan, pendidikan, sosial, propaganda politik, dll.
  • Tema Spiritual
Tema yang menyangkut kepercayaan dan keyakinan. Misalnya tema tentang reinkarnasi, keagungan Tuhan, datangnya Mu'jizat, dll.

Bahasa Kias

BAHASA KIAS


Contoh Bahasa Kias dalam Puisi
Bahasa kias (majas) atau figurative language merupakan bahasa yang susunan & arti katanya sengaja disimpangkan dari susunan & arti semula. Itu bisa dilakukan dengan cara   memanfaatkan pertautan, perbandingan atau pertentangan hal satu dengan hal lain, yang maknanya sudah dikenal oleh pembaca .
Dalam teori sastra, mengacu pada pendekatan struktural, struktur puisi dibagi menjadi dua: struktur fisik dan struktur batin. Bahasa kias merupakan  salah satu unsur dari struktur fisik puisi, selain tipografi (perwajahan puisi), kata konkret, versifikasi (rima, irama), imaji dan diksi. Bila dimanfaatkan secara optimal, bahasa kias bisa mendukung kekuatan struktur batin puisi.

Bahasa kias dipergunakan untuk tujuan(1) mendeskripsikan sesuatu yang tak konkret menjadi lebih konkret, sehingga ‘lebih dekat’ dengan pembaca, (2) memberi sensasi dan imajinasi, sehingga lebih berasa nikmat dalam membacanya, (3) menghasilkan tambahan makna, (4) memampatkan (memadatkan) ungkapan makna dalam sajak.

Bahasa kias  dapat dijadikan mediator untuk menyampaikan  pesan/amanat yang terkandung  dalam puisi. Pemakaian bahasa kias sebenarnya bukan monopoli puisi. Di banyak teks prosa—semisal cerpen atau novel—bahasa kias juga banyak dipakai untuk tujuan yang sama. Berikut ini disajikan beberapa bahasa kias yang paling sering dipakai :

Simile
Bahasa kias yang membandingkan dua hal atau lebih yang hakikatnya berbeda, tetapi dianggap mengandung segi yang serupa. Keserupaan itu dinyatakan secara tersurat dengan kata : bagai, sebagai, bak, semisal, seperti, ibarat, seumpama, laksana dan sebagainya.

Contoh :
Tuhan Engkaukah itu
Sekilas sinar yang berpendar-pendar
Terpantul mengarak langit, berkelip-kelip
Berkedip-kelip , memutar melingkar kelam
Membuih membentur perut malam
Seperti warna-warna pijar bertubrukan
Dalam ruang gelap tetapi entah dimana
( Nana Suryana, ”Tuhan Engkaukah itu?”)

Sinar yang berpendar-pendar dideskripsikan sedemikian rupa, sehingga seperti warna-warna yang bertubrukan.

Memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga
(Sapardi Djoko Damono, ”Yang Fana adalah Waktu”)

Dalam baris di atas, waktu (detik demi detik) disamakan dengan rangkaian bunga.

Metafora
Bahasa kias yang mengandung perbandingan yang tersirat sebagai pengganti kata atau ungkapan lain untuk melukiskan kesamaan atau keselarasan makna.  Rahmat Djoko Pradopo mendefinisikan metafora sebagai ’menyatakan sesuatu sebagai hal yang sama atau seharga dengan hal lain, yang sesungguhnya tidak sama.”
Metafora terdiri dari dua bagian : term pokok (tenor) dan term sekunder (vehicle). Tenor untuk menyebutkan benda yang dibandingkan, sedangkan vehicle adalah hal untuk membandingkan/menyamakan. Atas dasar ini, metafora dibagi menjadi dua : Metafora Implisit (hanya mempunyai vehicle) dan Metafora Eksplisit (mempunyai vehicle dan tenor).

Kalian tahu, pisau barulah pisau kalau ada darah di matanya
Tak peduli darahku atau darah kita
(Sapardi Djoko Damono, ”Kami Bertiga”)

Metafora implisit terletak pada kata pisau yang diumpamakan makhluk hidup yang mempunyai darah.

Dendam yang dihamilkan hujan
(Sapardi Djoko Damono, ”Kuhentikan Hujan”)

Hujan dalam baris tersebut secara implisit digunakan untuk menyatakan kesedihan.

Dalam diriku mengalir sungai panjang
Darah namanya
Dalam diriku menggenang telaga darah
(Sapardi Djoko Damono, ”Dalam Diriku”)

Secara eksplisit aliran darah disamakan dengan sungai panjang. Dalam hal ini, Darah berfungsi sebagai tenor, sedangkan  sungai panjang adalah vehiclenya

Tuhan
Tertimbun
di balik surat pajak

berita politik
pembagian untung
dan keluh tangga kurang air
(Subagyo Sastro Wardoyo, “Sodom dan Gomorrha”)

Judul sajak "Sodom dan Gomorrha" diambil dari nama dua kota yang dikutuk oleh Tuhan karena para penghuninya berakhlak sangat buruk. Dalam sajak tersebut penyair mengungkapkan bahwa orang-orang yang tidak mengakui adanya kehebatan Tuhan dimetaforiskan dengan "Tuhan tertimbun di balik surat pajak". Dalam hal ini Tuhan dibandingkan sesuatu benda yang tertimbun di balik surat pajak. Pemanfaatan majas tersebut menjadikan pernyataan lebih konkret.
Pada sajak yang lain, metafora dapat dilihat pada sajak "Lamunan Aborijin" di bawah ini.
Masa lalu adalah panas terik di padang
pasir dan berkelana di zaman mimpi tak
bertepi
Masa kini adalah berkeliaran di pinggir
kota dan melupakan diri dalam bir dan
wiski
Masa depan adalah malam yang panjang
tanpa setitik cahaya di langit kelam.
(Subagyo Sastro Wardoyo, “Lamunan Aborijin”)

Untuk melukiskan kekuatan imaji (pencitraan), penyair memperbandingkan "Masa lalu" dengan "panas terik di padang pasir dan berkelana di zaman mimpi tak bertepi". Sedangkan "Masa depan" dibandingkan dengan "malam yang panjang tanpa setitik cahaya di langit kelam". Dalam hal ini, “masa lalu” dan “Masa depan” merupakan tenor, sedangkan vehiclenya adalah “Panas terik…” dan “malam panjang…”
Terlihat jelas, pemanfaatan majas metafora membuat pernyataan menjadi lebih intensif dan konkret.  Sesuatu yang bersifat abstrak seperti “masa lalu” dan “masa depan” dapat lebih dikonkretkan secara deskriptif. 

    Aku
ini binatang jalang
    Dari kumpulannya terbuang

    Biar peluru menembus kulitku
    aku tetap meradang menerjang
( Chairil Anwar, "Aku Ini Binatang Jalang")

Di sini, sosok "Aku" digambarkan sebagai  "binatang jalang". Metafora ini dihadirkan untuk  mempertegas  (dan sekaligus dipertegas) kehadiran dua bait sebelumnya: Kalau sampai waktuku / kumau tak seorang kan merayu / Tidak juga kau // Tak perlu sedu sedan itu.

Berikut ini disajikan beberapa contoh yang lain. Silakan dicermati, mana yang tergolong metafora implicit, dan mana yang eksplisit :

     Rumahku dari unggun-timbun sajak
     Kaca jernih dari luar segala tampak
   (Chairil Anwar, "Rumahku")

    mungkin juga
     dikaulah puteri tujuh
     yang tanpa lelah
     mengumpulkan air matamu
     kemudian disulingkan
     sebagai minyak bumi
   (Taufik Ikram Jamil, “kisah pagi ini")
     
      hatiku meleleh di selat tebrau
     sia-sia kuhisap
     sejak 1824
     sejarah menjadi topan di kepalaku
    (Taufik Ikram Jamil, "sejak 1824")

      alif, alif, alif!
     alifmu pedang di tanganku
     susuk di dagingku, kompas di hatiku
     alifmu tegak jadi cagak, meliut jadi belut
     hilang jadi angan, tinggal bekas menetaskan
                                               terang
                                               hingga aku
                                               berkesiur
                                               pada
                                               angin kecil
                                               takdir-
                                               mu
(D .Zawawi Imron, "Zikir”)

     
aku bayangkan
      sebuah bisul yang membesar menjadi gunung
     setelah pecah
     di puncaknya muncul kaldera

      aku bayangkan
      sebuah luka yang meluas menjadi laut
      yang airnya darah bercampur nanah
(D .Zawawi Imron, "Aku Bayangkan", ibid)

   Bulu matamu: padang ilalang

    Di tengahnya: sebuah sendang.
(Joko Pinurbo, "Bulu Matamu: Padang Ilalang")

     
Ia membabat padang rumput yang tumbuh subur
     di kepalaku. Ia membabat rasa damai yang merimbun
     sepanjang waktu.
(Joko Pinurbo, "Tukang Cukur")


Personifikasi
Personifikasi merupakan bahasa kias yang membandingkan sesuatu yang bukan manusia (benda, tumbuhan/hewan), yang diandaikan seolah-olah memiliki sifat-sifat manusia. Personifikasi memproyeksikan sifat-sifat manusia untuk dilekatkan pada hal lain. Dengan personifikasi, benda-benda direkayasa sehingga seolah-seolah dapat bertindak, berpikir atau merasa sebagaimana manusia.
Personifikasi dipergunakan untuk membuat pencitraan terasa lebih hidup, seperti lukisan yang bisa dilihat secara konkret dan detail. 
Nuansa alam sering menginspirasi hadirnya sebuah karya. Karenanya, tak mengherankan jika banyak penulis sering memakai bahasa kias personifikasi ini.  Dalam puisi berikut, dingin digambarkan bisa bergerak, menggigit dan mengetuk pintu. Padahal sifat-sifat seperti ini, hanya dimiliki manusia.

Dingin bergerak memenuhi udara , menggigit dosa
Berarak mendatangi Mu menggigil mengetuk pintu
”adakah aku disitu?”
Sedu sedan angin yang sebentar menghilang
Mendekat, suaraMu dari kisi jendela
Dia terbaring dalam gelimang kata sia-sia
(Nur Hayat Arif Permana, ”Lanskap Subuh”)

Kutampar laut yang hendak merampas tanganmu
Tak mungkin ku lepas keindahan yang begitu lama kutunggu
Meski hujan meski badai, aku tetap mengikut kabut
Membangun istana laba-laba dari duri mawar
Dan getah kamboja. Keikhlasan adalah selembar daun yang tanggal dari tangkainya ketika masih berembun
(Kusprinyanto, ”Metonimia”)

Disini terlihat, perbandingan aku yang sebagai manusia dengan laut yang merupakan benda mati. Kutampar laut yang hendak merampas tanganmu , adalah sifat dan kebiasaan manusia dalam melakukan perlawanan atau membela diri karena ada sesuatu yang hilang diambil oleh laut. Haal tersebut memberikan gambaran bagi pembaca dan memberikan kesan hidup karena puisi tersebut sudah diberi ruh.

Nada-nada lembut mendambakan hidup
murni, tulus dan kalis dari dosa
Seperti bunyi suling, gender dan
rebab yang menyentuh sanubari
Kesepian harus diterima sebagai
nasib yang tersurat
(Subagyo Sastro Wardoyo, Motif II)

Pada sajak di atas penyair menggambarkan rebab bisa memiliki sifat menyentuh, sebagaimana dimiliki manusia.

Metonimia
Metonimia adalah bahasa kias yang menggunakan nama untuk benda lain yang menjadi merk, ciri khas, atau atribut. Biasanya metonimia dipakai untuk melambangkan suasana atau keadaan tertentu; terutama untuk latar yang kental. Mari kita amati beberapa contoh berikut :
Aku tengah menantimu, mengejang bunga randu alas
  Di pucuk kemarau yang mulai gundul itu
    Berapa juni saja menguncup dalam diriku dan kemudian layu
 (Sapardi Djoko Damono, ”Aku tengah menantimu”)

      Kata Juni diatas dipakai penyair sebagai mengganti musim kemarau.

Saudaraku meraung, saling cabut perang
Jalan-jalan berdarah. Hidup pun tak punya arah
Langit bergoyang. Bumi berguncang
Engkau bersimbah darah
Aku orang ruh dalam daging, mengapung  seharian
Di kamp Nazi aku dipasung derita
Tapi jauh sebelum itu kau turihkan inri
Didaging-dagingku .aku hidup
Dikaji Tuhan mengaji Tuhan
(Soni Farid Maulana, ”Sajak”)

Pada bait pertama sudah dijelaskan secara rinci tentang kekacauan yang terjadi di masa perang. Biarpun demikian dalam bait berikutnya, penulis merasa perlu mempertegas settingnya. Bahwa hal tersebut terjadi ketika Nazi berkuasa. Dalam hal ini  kamp Nazi mewakili era Nazi, ketika perang merajalela di Eropa.

Takbir
Membasuh dosa
Tahmid
Melumat luka
(Matdon, ”Idul fitri”)

Kata takbir dan tahmid pada puisi di atas identik dengan suasana idul fitri.

Sinekdoke
Bahasa kias yang menyebutkan bagian penting suatu benda/hal untuk benda/hal itu sendiri. Sinekdoke ada dua macam yakni : (1) Pars pro toto (melukiskan sebagian tetapi yang dimaksud adalah seluruhnya) dan, (2) Totem pro parte (melukiskan keseluruhan tetapi yang dimaksudkan adalah sebagian).

Seruling bambu itu membayangkan ada yang meniupnya,
Menutup-membuka lubang-lubangnya, menciptakan
Pengeran dan putri kerajaan-kerajaan jauh
(Sapardi Djoko Damono, ”Seruling”)

Frase ’menciptakan pangeran dan putri’ dimaksudkan untuk ’menyanyikan lagu tentang pangeran dan putri’ (totum pro parte)

             Memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga
            (Sapardi Djoko Damono, ”Yang Fana adalah Waktu”)

Frase ’memungut detik demi detik’ bermakna keseluruhan waktu, tetapi yang dimaksudkan puisi di atas sebenarnya hanya ’sebagian waktu’, atau ’waktu tertentu’. (totum pro parte)

Siang dan senja tak kusongsong
Tapi gorden enggan kututup
Aku akan menunggumu hingga dapat kuraba rambutmu
 ( Nenden Lilis A.,”Catatan September”)

Rambut yang dimaksudkan puisi di atas mewakili orang. (Pars prototo)

Hiperbola
Hiperbola adalah bahasa kias yang dipakai untuk melebih-lebihkan atau mendramatisasikan suatu keadaan. Tujuannya, agar pembaca lebih merasakan   aspek yang diungkapkan pengarang.

Perahu melayang bagai
Keranda
HIKAYAT

Kumpulan Buku Hikayat Edisi Hikayat 1001 Malam

Hikayat adalah salah satu bentuk sastra prosa, terutama dalam Bahasa Melayu yang berisikan tentang kisah, cerita, dan dongeng. Umumnya mengisahkan tentang kehebatan maupun kepahlawanan seseorang lengkap dengan keanehan, kesaktian serta mukjizat tokoh utama.
Sebuah hikayat dibacakan sebagai hiburan, pelipur lara atau untuk membangkitkan semangat juang.
Prosa lama cenderung bersifat imajinatif, istanasentris, dedaktif, anonim, dan bentuk serta isinya statis. Sedangkan prosa baru bersifat realis, dinamis, dan tidak anonim.
Karya yang termasuk prosa lama ialah dongeng, (prosa lama yang isinya semat-mata berdasarkan khayalan dan disampaikan secara lisan), hikayat ( isinya mengenai kejadian-kejadian di lingkungan istana, tentang keluarga raja), silsilah atau tambo (semacam sejarah, akan tetapi isinya sudah dicampur aduk dengan khayal sehingga banyak cerita yang tidak tercerna oleh pikiran sehat.
Contoh hikayat:
1. Hikayat Hang Tuah
2. Hikayat si Miskin
3. Hikayat Panca Tantra
4. Hikayat Panji Semirang
5. Hikayat Dalang Indra Kusuma
6. Hikayat Amir Hamzah
7. Hikayat Anggun Cik Tunggal dan sebagainya