Apa yang anda lihat dan rasakan ketika
menonton sepak bola? Sebagai penonton, perasaan anda jelas berbeda
dengan apa yang dilihat dan dirasa oleh si pemain yang timnya menang
atau malah si pemain yang timnya kalah. Akibat dari kejadian itupun akan
berbeda bagi anda, si pemain yang menang, dan si pemain yang kalah.
Oleh sebab itu sudut pandang adalah krusial dalam mempengaruhi penyajian
cerita dan alurnya. Sudut pandang (point of view) sendiri memiliki
pengertian sebagai cara penulis menempatkan dirinya di dalam cerita.
Secara mudah, sudut pandang adalah teknik yang dipilih penulis untuk
menyampaikan ceritanya. Berikut ini macam–macamnya:
1. Sudut Pandang Orang Pertama Tunggal.
Penulis sebagai pelaku sekaligus narator yang menggunakan kata ganti “aku’.
A. “Aku” sebagai tokoh utama.
Penulis adalah “aku ”sebagai tokoh utama cerita dan mengisahkan dirinya
sendiri, tindakan, dan kejadian disekitarnya. Pembaca akan menerima
cerita sesuai dengan yang dilihat, didengar, dialami, dan dirasakan
“aku” sebagai narator sekaligus pusat cerita.
Contoh:
Seorang lelaki tua memanggilku sepuluh menit lalu di ruang pribadinya di
lantai paling atas pada gedung megah biru dunker, inti kampusku. Dia
duduk pongah di kursi busa berukir khas jepara dibalik meja. Senyumnya
mahal, semahal kursi itu. Kucoba duduk santai dihadapnya, sambil melirik
buku yang tadi dibantingnya. Gagasan, itu tulisan di sudut kanan atas
sampul depan. Mendesah sebelum kualirkan mata ke tanda pengenal meja
disebelah buku itu, tulisan cerlang bereja Rektor pongah menatapku.
Kulengoskan kepala keluar jendela, sementara mulutnya terus mengumpat.
Soal buku itu, tentu juga soal aku. (Rektor Itu Ayahmu, Sayang? – Ardyan
Amroellah)
Catatan:
- Tokoh “aku” tak mungkin mengungkapkan perasaan atau pikiran tokoh lain kecuali dengan perkiraan.
- Penulis harus memahami tokoh “aku” sesuai karakternya. Misalnya soal
bahasa, perlu dilihat apakah “aku” adalah orang tua atau anak muda.
Itu akan mempengaruhi gaya bahasa yang diucapkan.
- Mengenali dengan baik karakter “aku” adalah keharusan..
B. “Aku” sebagai tokoh bukan utama.
Penulis adalah “aku ” dalam cerita tapi bukan tokoh utama. Keberadaan
“aku” hanya sebagai saksi/kawan tokoh utama. “Aku” adalah narator yang
menceritakan kisah yang dialami tokoh lain yang menjadi tokoh utama.
Contoh:
Aku sudah mengetahui wajahnya sejak lama, sejak sekitar dua tahun lalu.
Seminggu sekali dia datang ke salon itu, selalu. Aku kerap tertawa saat
ingat kali pertama aku melihatnya. Lusuh, kusam, dekil, sama sekali tak
berwarna. Tapi aku tahu, dia bak mutiara jatuh dalam kotoran dan
ketakberuntungan. Tinggal membasuhnya saja sebelum moncernya kembali.
Dan rupanya dia tahu bagaimana cara memelihara diri. Terbukti, tak ada
tanda kekusaman yang muncul. Aih, aku jadi iri. (Mimpimu Apa? – Ardyan
Amroellah)
Catatan:
- Teknik ini hampir mirip dengan Sudut Pandang Orang Ketiga. Hanya saja narator ikut terlibat sebagai tokoh.
- “Aku” hanya mengomentari apa yang dilihat dan didengar saja. “Aku”
bisa mengungkap apa yang dirasakan atau dipikirkan tokoh utama, tapi
hanya berupa dugaan dan kemungkinan berdasar apa yang “aku” amati dari
tokoh utama.
2. Sudut Pandang Orang Pertama Jamak
Ini mirip dengan Sudut Pandang Orang
Pertama Tunggal, hanya saja menggunakan kata ganti “kami”. Narator
menjadi seseorang dalam cerita yang bicara mewakili beberapa orang atau
sekelompok orang.
Contoh:
Siang itu kami berkerumun di teras masjid, membahas isu hangat yang
merebak di pondok. Secara beruntun, barang-barang kami hilang. Mi
instan, uang, buku, hingga celana dalam. Hal terakhir itu sangat
keterlaluan. Ajaibnya, kami berempat sama. Celana dalam kami habis.
Percayalah, hanya sarung yang kami pakai saat ini. (Ronaldo Dari Brazil –
Anin Mashud)
3. Sudut Pandang Orang Kedua
Penulis adalah narator yang sedang
berbicara kepada kata ganti “kamu” dan menggambarkan apa yang dilakukan
“kamu” atau “kau” atau “anda”.
Contoh:
Ini hari pertamamu masuk kerja. Harus sempurna! Maka jadi sejak tiga
sejam lalu, kau sibuk bolak-balik di depan cermin. Mengecek baju,
rambut, sampai riasan di wajahmu. Lalu setelah kau memulaskan lipgloss
sebagai sentuhan final yang kau rasa akan memesona teman-teman barumu di
kantor nanti, kau mengambil parfum. Menyemprotkannya di belakang
telinga, pergelangan tangan, selangkangan, dan ke udara. Sedetik
berikutnya, kau melewati udara beraroma lili dan lavender itu, berharap
supaya wanginya menempel di rambut dan blazer barumu. (Novel The Girls’
Guide to Hunting and Fishing – Melissa Bank)
Catatan;
- Pembaca diperlakukan sebagai pelaku utama sehingga membuatnya
menjadi merasa dekat dengan cerita karena seolah menjadi tokoh utama
- Penulis harus konsisten tak menyebut “aku” untuk berbicara dengan tokoh utama.
4. Sudut Pandang Orang Ketiga Tunggal.
Penulis ada di luar cerita tak terlibat
dalam cerita. Penulis juga menampilkan para tokoh dengan menyebut
namanya atau kata ganti “dia”.
A. Sudut Pandang Orang Ketiga Mahatahu.
Penulis seperti Tuhan dalam karyanya, yang mengetahui segala hal tentang
semua tokoh, peristiwa, tindakan, termasuk motif. Penulis juga bebas
berpindah dari satu tokoh ke tokoh lain. Bahkan bebas mengungkapkan apa
yang ada dipikiran serta perasaan para tokohnya.
Contoh:
“Ibrahim?!”
“Ya, Ibrahim. Seperti itulah tugasnya setelah dipanggil pulang…”
Jawaban itu tak memuaskan, Ranju masih dliputi ketakpercayaan saat si
guide bertudung memintanya melanjutkan jalan. Secepat Ranju berkedip,
secepat itu Ranju menjumpai pantai di matanya. Dan itu membuat Ranju
mulai percaya ini tak dunia? Tidak, hatinya masih penuh logika. Meski
Ranju ingat, dia tadi berjalan diatas air, dia tadi menghirup susu di
parit kecil pinggir jalan, dia tadi menatap wanita–wanita elok yang
menyapa genit. Ranju bermain–main di pikiran sampai–sampai si guide
bertudun menyentak lengannya. Ranju terpaku diluar pagar sebuah rumah
kecil serupa rumah keluarga Amerika kelas menengah. (Lelaki Di Tengah
Lapangan – Ardyan Amroellah)
B. Sudut Pandang Orang Ketiga Terbatas.
Penulis melukiskan segala apa yang dialami tokoh hanya terbatas pada
satu orang atau dalam jumlah yang sangat terbatas. Penulis tak leluasa
berpindah dari satu tokoh ke tokoh lainnya. Melainkan terikat hanya pada
satu atau dua tokoh saja.
Contoh:
Selalu ada cita di dalam benaknya, untuk mabuk dan menyeret kaki di
tengah malam, menyusuri Jalan Braga menuju penginapan. Dia akan
menikmati bagaimana lampu-lampu jalan berpendar seperti kunang yang
bimbang; garis-garis bangunan pertokoan yang berderet tak putus acap
kali menghilang dari pandangan; dan trotoar pun terasa bergelombang
seperti sisa ombak yang menepi ke pantai. (Lagu Malam Braga – Kurnia
Effendi)
C. Sudut Pandang Orang Ketiga Objektif
Narator melukiskan semua tindakan tokoh dalam cerita namun tak
mengungkapkan apa yang dipikirkan serta dirasakan oleh tokoh cerita.
Penulis hanya boleh menduga apa yang dipikirkan, atau dirasakan oleh
tokoh ceritanya.
Contoh:
Si lelaki tua bangkit dari kursinya, perlahan mengeluarkan pundi kulit
dari kantung, membayar minuman dan meninggalkan persenan setengah
peseta. Si pelayan mengikutinya dengan mata ketika si lelaki tua keluar.
Seorang lelaki yang sangat tua yang berjalan terhuyung tetapi tetap
dengan penuh harga diri.
“Kenapa tak kau biarkan saja dia minum sampai puas?” tanya si pelayan
lain. Mereka berdua menurunkan semua tirai. “Belum jam setengah dua.”
lanjutnya.
“Aku ingin cepat pulang dan tidur.” (Tempat yang Bersih Terang – Ernst Hemingway)
5. Sudut Pandang Orang Ketiga Jamak
Penulis menuturkan cerita berdasarkan
persepsi atau kacamata kolektif. Penulis akan menyebut para tokohnya
dengan menggunakan kata ganti orang ketiga jamak; “mereka”.
Contoh:
Pada suatu hari, ketika mereka berjalan-jalan dengan Don Vigiliani dan
beberapa anak lelaki dari kelompok pemuda. Dalam perjalanan pulang,
mereka melihat ibu mereka di sebuah kafe di pinggir kota. Dia sedang
duduk di dalam kafe itu; mereka melihatnya melalui sebuah jendela dan
seorang pria duduk bersamanya. Ibu mereka meletakkan syal tartarnya di
atas meja. (Ibu – Natalia Ginzburg)
6. Sudut Pandang Campuran
Penulis menempatkan dirinya bergantian
dari satu tokoh ke tokoh lainnya dengan sudut pandang yang berbeda-beda.
“aku”, “kamu”, “kami”, “mereka”, dan atau “dia”.
Catatan:
- Biasanya teknik ini dipakai dalam cerita yang membutuhkan halaman banyak.
- Perlu ketelitian dalam setiap fragmen saat penulis mengubah sudut pandang.
SUDUT PANDANG ORANG KEDUA: PENJELASAN KHUSUS
Dibandingkan unsur–unsur pembentuk cerita lainnya, penulis–penulis
Indonesia cenderung lambat dalam mengeksperimen dan membarui penggunaan
sudut pandang dalam penerapannya pada karya. Selama ini secara umum kita
hanya mengenal dua macam sudut pandang, yaitu Sudut Pandang Orang
Pertama dan Sudut Pandang Orang Ketiga. Sama sekali tak ada teori dan
penggunaan Sudut Pandang Orang Kedua. Mengapa seperti itu? Jawaban semua
penulis rata–rata sama. Sulit.
Sebagai gambaran singkat. Misalnya
seseorang yang bernama Andi, bercerita kepada temannya, Budi. Ada dua
kemungkinan: Andi menceritakan dirinya dengan berkata, “Pagi ini aku
berangkat pagi.” Dalam hal ini, Andi menggunakan sudut pandang orang
pertama (aku). Kemungkinan kedua, Andi menceritakan orang lain. Misalnya
dengan, “Tadi siang dia makan siang.” Di sini, Andi menggunakan sudut
pandang orang ketiga (dia).
MUNGKINKAH ANDI BERCERITA KEPADA BUDI TENTANG BUDI?
Dalam keadaan normal, kejadian semacam
ini mustahil terjadi sebab apa yang dialami Budi tentunya Budi sendiri
yang lebih tahu. Hal itu seperti mengharapkan dalang bercerita soal
Arjuna kepada Arjuna yang menontonnya. Jelas Arjuna lebih tahu kisah
dirinya sendiri dibanding dalang. Itu jika normal. Jika tak normal
apakah bisa? Dan bagaimana praktiknya jika bisa?
Kembali ke pengandaian diatas. Jawabannya
adalah bisa saja ketika Arjuna kehilangan informasi tentang dirinya
atau kejadian yang dialaminya, karena mungkin dia pingsan atau tidur,
lalu Arjuna minta keterangan dalang sehingga dalang akan
menginformasikan, “Waktu tidur tadi kau berjalan keluar kamar, tapi
matamu meram.” Kondisi terakhir ini dapat melahirkan sudut pandang orang
kedua (kau, kamu) asalkan dalang konsisten tak menyebut dirinya sebagai
“aku”.
Dalam bentuk cerita, pembaca hanya akan
melihat Arjuna yang disapa dengan kata ganti ”kau”, sedangkan dalang tak
terlihat dan dianggap oleh pembaca sebagai penulis cerita. Jika dalang
tergoda untuk memasukkan dirinya ke dalam peristiwa, misalnya dengan
menambahkan, “Lalu aku menepuk pundakmu,” maka sudut pandang berubah
menjadi orang pertama. Tetapi sudut pandang akan tetap orang kedua jika
dalang menceritakan dirinya tidak dengan kata ganti orang pertama,
misalnya dengan mengatakan, “Lalu seseorang menepuk pundakmu.”
Dari pengertian ringkas di atas, dapat
dimengerti jika sudut pandang orang kedua jarang sekali dipraktikkan
oleh para penulis. Tapi bukan berarti tak ada. Coba baca Dadaisme karya
Dewi Sartika, Cala Ibi karya Nukila Amal, dan Kabar Buruk dari Langit
buatan Muhiddin M. Dahlan. Meski sudut pandang orang kedua pada ketiga
novel ini tidak utuh atau tidak sepenuhnya dipakai dalam keseluruhan
novel.